Kamis, 20 Mei 2010

Ya Sudahlah by bondan

Ketika mimpimu yg begitu indah,
tak pernah terwujud..ya sudahlah
Saat kau berlari mengejar anganmu,
dan tak pernah sampai..ya sudahlah (hhmm)

*reff:
Apapun yg terjadi, ku kan slalu ada untukmu
Janganlah kau bersedih..coz everything's gonna be OKAY

Santoz:
yo..Satu dari sekian kemungkinan
kau jatuh tanpa ada harapan
saat itu raga kupersembahkan
bersama jiwa, cita,cinta dan harapan

Lezz:
Kita sambung satu persatu sebab akibat
tapi tenanglah mata hati kita kan lihat
menuntun ke arah mata angin bahagia
kau dan aku tahu,jalan selalu ada

titz:
juga ku tahu lagi problema kan terus menerjang
bagai deras ombak yang menabrak karang
namun ku tahu..ku tahu kau mampu tuk tetap tenang
hadapi ini bersamaku hingga ajal datang

B:
Sempat kau berharap keramahan cinta,
tak pernah kau dapat..ya sudahlah
yeeah..dengar ku bernyanyi..lalalalalala
heyyeye yaya dedudedadedudedudidam..semua ini belum *****hir

back to *reff

F2B:
satukan langkah..langkah yg beriring!
genggam hati, rangkul emosi!

B:
Genggamlah hatiku, satukan langkah kita

F2B:
Sama rasa, tanpa pamrih
ini cinta..across da sea

B:
peluklah diriku..terbanglah bersamaku, melayang jauh.. (come fly with me, baby)

F2B:
Ini aku dari ujung rambut menyusur jemari
sosok ini yg menerima kelemahan hati
yea..aku cinta kau..(ini cinta kita)
cukup satu waktu yes.(untuk satu cinta)

satu cinta ini akan tuntun jalanku
rapatkan jiwamu yo tenang disisiku
rebahkan rasamu..untuk yg ditunggu
BAHAGIA..HINGGA UJUNG WAKTU..

back to *reff (together) 3x

Jumat, 14 Mei 2010

arti cinta dan makna dari cinta yang diajarkan oleh plato

Satu hari, Plato bertanya pada gurunya,
"Apa itu cinta? Bagaimana saya bisa menemukannya?"

Gurunya menjawab, "Ada ladang gandum yang luas didepan sana.
Berjalanlah kamu dan tanpa boleh mundur kembali,
kemudian ambillah satu saja ranting.  
Jika kamu menemukan ranting yang kamu anggap
paling menakjubkan, artinya kamu telah menemukan cinta"

Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan tangan kosong, tanpa membawa apapun.
 
Gurunya bertanya, "Mengapa kamu tidak membawa satupun ranting?"

Plato menjawab, "Aku hanya boleh membawa satu saja, dan saat berjalan tidak boleh mundur kembali (berbalik).  

Sebenarnya aku telah menemukan
yang paling menakjubkan, tapi aku tak tahu apakah ada yang lebih menakjubkan lagi di depan sana, jadi tak kuambil ranting tersebut.

Saat kumelanjutkan berjalan lebih jauh lagi, baru kusadari bahwasanya ranting - ranting yang kutemukan kemudian tak sebagus ranting yang tadi,
jadi tak kuambil sebatangpun pada akhirnya

"Gurunya kemudian menjawab " Jadi ya itulah cinta"

Cinta itu semakin dicari, maka semakin tidak ditemukan.
Cinta adanya di dalam lubuk hati, ketika dapat menahan keinginan dan harapan yang lebih.

Ketika pengharapan dan keinginan yang berlebih akan cinta, maka yang didapat adalah kehampaan... tiada sesuatupun yang didapat, dan tidak dapat
dimundurkan kembali.

Waktu dan masa tidak dapat diputar mundur.
Terimalah cinta apa adanya.

Ketika kesempurnaan ingin kau dapatkan, maka sia2lah waktumu dalam mendapatkan
perkawinan itu, karena sebenarnya kesempurnaan itu hampa adanya.

Cerita Hidup bukan berawal dari matahari terbit atau berawal dari kata pertama yang kita ucapkan tapi sebuah awal adalah mendengarkan seseorang

Belajar Mendengarkan


Anda pasti tahu bagaimana rasanya menerima telepon di tengah malam.
Tapi, malam itu semuanya terasa berbeda. Aku terlonjak dari tidurku
ketika telepon di samping tempat tidur berdering-dering. Aku berusaha
melihat jam beker dalam gelap. Cahaya illuminasi dari jam itu
menunjukkan tepat tengah malam. Dengan panik aku segera mengangkat
gagang telepon.
"Hallo?" dadaku berdegub-degub kencang. Aku memegang gagang telepon itu
erat-erat. Kini suamiku terbangun dan menatap wajahku lekat-lekat.
"Mama?" terdengar suara di seberang sana.
Aku masih bisa mendengar bisikannya di tengah-tengah dengung telepon.
Pikiranku langsung tertuju pada anak gadisku. Ketika suara itu semakin
jelas, aku meraih dan menarik-narik pergelangan tangan suamiku.

"Mama, aku tahu ini sudah larut malam. Tapi jangan... jangan berkata
apa-apa dahulu sampai aku selesai bicara. Dan, sebelum mama menanyai aku
macam-macam, ya aku mengaku ma. Malam ini aku mabuk. Beberapa hari ini
aku lari dari rumah, dan..."
Aku tercekat. Nafasku tersenggal-senggal. Aku lepaskan cengkeraman pada
suamiku dan menekan kepalaku keras-keras. Kantuk masih mengaburkan
pikiranku. Dan, aku berusaha agar tidak panik. Ada sesuatu yang tidak
beres.
"...Dan aku takut sekali. Yang ada dalam pikiranku bagaimana aku telah
melukai hati mama. Aku tak mau mati di sini. Aku ingin pulang. Aku tahu
tindakanku lari dari rumah adalah salah. Aku tahu mama benar-benar cemas
dan sedih. Sebenarnya aku bermaksud menelepon mama beberapa hari yang
lalu, tapi aku takut... takut..."
Ia menangis tersedan-sedan. Sengguknya benar-benar membuat hatiku iba.
Terbayang aku akan wajah anak gadisku. Pikiranku mulai jernih,
"Begini..."

"Jangan ma, jangan bicara apa-apa. Biarkan aku selesai bicara." ia
meminta. Ia tampak putus asa.
Aku menahan diri dan berpikir apa yang harus aku katakan. Sebelum aku
menemukan kata-kata yang tepat, ia melanjutkan, "Aku hamil ma. Aku tahu
tak semestinya aku mabuk sekarang,tapi aku takut. Aku sungguh-sungguh
takut!"
Tangis itu memecah lagi. Aku menggigit bibirku dan merasakan pelupuk
mataku mulai basah. Aku melihat pada suamiku yang bertanya perlahan,
"Siapa itu?"
Aku menggeleng-gelengkan kepala. Dan ketika aku tidak menjawab
pertanyaannya, ia meloncat meninggalkan kamar dan segera kembali sambil
membawa telepon portable. Ia mengangkat telepon portable yang tersambung
pararel dengan teleponku. Terdengar bunyi klik.

Lalu suara tangis suara di seberang sana terhenti dan bertanya, "Mama,
apakah mama masih ada di sana? Jangan tutup teleponnya ma. Aku
benar-benar membutuhkan mama sekarang. Aku merasa kesepian."
Aku menggenggam erat gagang telepon dan menatap suamiku, meminta
pertimbangannya. "Mama masih ada di sini. Mama tidak akan menutup
telepon," kataku.
"Semestinya aku sudah bilang pada mama. Tapi bila kita bicara, mama
hanya menyuruhku mendengarkan nasehat mama. Selama ini mamalah yang
selalu berbicara. Sebenarnya aku ingin bicara pada mama, tetapi mama tak
mau mendengarkan. Mama tak pernah mau mendengarkan perasaanku. Mungkin
mama anggap perasaanku tidaklah penting. Atau mungkin mama pikir mama
punya semua jawaban atas persoalanku. Tapi terkadang aku tak membutuhkan
nasehat mama. Aku hanya ingin mama mau mendengarkan aku."
Aku menelan ludahku yang tercekat di kerongkongan. Pandanganku tertuju
pada pamflet "Bagaimana Berbicara Pada Anak Anda" yang tergeletak di
sisi tempat tidurku.

"Mama mendengarkanmu," aku berbisik.
"Tahukah mama, sekarang aku mulai cemas memikirkan bayi yang ada di
perutku dan bagaimana aku bisa merawatnya. Aku ingin pulang. Aku sudah
panggil taxi. Aku mau pulang sekarang."
"Itu baik sayang," kataku sambil menghembuskan nafas yang meringankan
dadaku. Suamiku duduk mendekat padaku. Ia meremas jemariku dengan
jemarinya.
"Tapi ma, sebenarnya aku bermaksud pulang dengan menyetir sendiri mobil
sendiri."

"Jangan," cegahku. Ototku mengencang dan aku mengeratkan genggaman
tangan suamiku. "Jangan. Tunggu sampai taxinya datang. Jangan tutup
telepon ini sampai taxi itu datang."
"Aku hanya ingin pulang ke rumah, mama."
"Mama tahu. Tapi, tunggulah sampai taxi datang. Lakukan itu untuk
mamamu."
Lalu aku mendengar senyap di sana. Ketika aku tak mendengar suaranya,
aku gigit bibir dan memejamkan mata. Bagaimana pun aku harus mencegahnya
mengemudikan mobil itu sendiri.

"Nah, itu taxinya datang."
Lalu aku dengar suara taxi berderum di sana. Hatiku terasa lega.
"Aku pulang ma," katanya untuk terakhir kali. Lalu ia tutup telepon itu.
Air mata meleleh dari mataku. Aku berjalan keluar menuju kamar anak
gadisku yang berusia 16 tahun. Suamiku menyusul dan memelukku dari
belakang. Dagunya ditaruh di atas kepalaku.
Aku menghapus airmata dari pipiku. "Kita harus belajar mendengarkan,"
kataku pada suamiku.

Ia terdiam sejenak, dan bertanya, "Kau pikir, apakah gadis itu sadar
kalau ia telah menelepon nomor yang salah?"
Aku melihat gadisku sedang tertidur nyenyak. Aku berkata pada suamiku,
"Mungkin itu tadi bukan nomor yang salah."
"Ma? Pa? Apa yang terjadi?," terdengar gadisku menggeliat dari balik
selimutnya.
Aku mendekati gadisku yang kini terduduk dalam gelap, "Kami baru saja
belajar," jawabku.

Belajar apa?" tanyanya. Lalu ia kembali berbaring dan matanya terpejam
lagi.
"Mendengarkan," bisikku sambil mengusap pipinya.

jenis atau macam perjanjian penaggungan

Didalam bidang pengkreditan banyak terjadi penjaminan yang berbentuk penaggungan, itu disebabkan karena alasan-alasan tertentu misalnyta karena si penanggung mempunyai kepentingan ekonomi di dalam usaha dari si peminjam. Penanggungan juga banyak timbul, memegang peranan penting dalam bentuk Bank Garansi, dimana yang bertindak sebagai penanggung adalah Bank,baik Bank Pemerintah atau Bank swasta. Di Indonesia telah mengenal adanya penanggungan yang dilakukan oleh lembaga tertentu, misalnya kredit yang diberikan untuk pembelian beras/gabah oleh BUUD/KUD ditanggung oleh lembaga jaminan kredit koperasi. Demikian juga pemberian kredit Candak Kulak kepada pedagang kecil di pedesaan di disayratkan adanya rekomendasi dari pengurus Badan Kredit Candak Kulak (BKCK).
Diluar negerio dan juga Indonesia meskipun masih dalam keadaan pertumbuhan, demi perlindungan bagi pengusaha kecil dimungkikan bahwa untuk kredit-kredit yang diberikan kepada pengusaha kecil diisyaratkan adanya penanggung/borg yang dilakukan oelh lembaga-lembaga tertentu. Di luar negeri bahkan dimungkinkan bahwa pemberian kredit untuk usaha-usaha tertentu dan untuk jumlah-jumlah tetentu ditanggung oleh pemerintah, disebut kredit dengan jaminan pemerintah (staatgaransi)
Pada pkoknya bentuk-bentuk penanggungan yang dikenal di luar negeri dan praktek perbankan di Indonesia ialah sebagai berikut :
1. Jaminan kredit (kredit garansi; jaminan orang; personal guarantie)
Jaminan kredit atau kredit garansi adalah bentuk penanggungan dimana seorang penanggung (perorangan) menaggung untuk memenuhi hutang debitur sebesar sebagaimana tercantum dalam perutangan pokok.
Kredit garansi atau dalam praktek perbankan lazim disebut dengan istilah jaminan perseorangan/orang, personal, guaranty, adalah perjajian antara kreditur dan penanggung dimana seorang mengikatkan diri sebagai penanggung untuk memenuhi hutang debitur baik itu karena ditunjuk oleh kreditur (tanpa sepengetahuan debitur atau persetujuan debitur) maupun yang diajukan oleh debitur atas perintah dari kreditur.

2. Jaminan Bank (Bank garansi)
Jaminan bank adalah suatu jenis penanggungan, dimana yang bertindak sebagai penanggung adalah bank. Berdasarkan UU pokok Perbankan No. 14 tahun 1967 bank umum adalah tergolong jenis bank yang berhak memberikan jaminan bank (bank garansi), didalam usahanya (pasal 23 ayat 7). Bank garansi terjadi jika bank selaku penanggung diwajibkan untuk menaggung pelaksanaan pekee\rjaan tertentu atau menanggung dipenuhinya pembayaran tertentu kepada kreditur.
Selanjutnya bak garansi juga diberikan oelh bank untuk menjamin pembayaran Unag ukai Rokok yang harus dipenuhi oleh perusahaan rokok selaku debitur/peminta jaminan dan wajib dibayarkan kepada Dirjen Bea Cukai selaku kreditur/penerima jaminan. Dalam bank garansi bank baru bersedia memberikan garansi jika kepada bank telah disetorkan sejumlah uang tertentu sebesar garansi yang akan diberikan oleh Bank. Atau kemungkinan lainnya lagi, dapat juga si pemohon garansi tidak menyerahkan sejumlah uang pada bank melainkan memberikan kontra garansi yang berwujud jaminan yang bersifat kebendaan.
Di negeri belanda pemberian bak garansi oleh bank tidak disyaratkan adanya jaminan secara khusus bank garansi itu dapat diberikan dalam bentuk pemberian kredit dalam rekening yang berjalan (kredietverlening in lopende rekening). Bank akan memblokir sejumlah uang/kredit dari pemohon garansi sebesar jaminan bank garansi akan diberikan sehingga pemohon tidak wenang untuk menguasai uang tersebut. Pda saatnya jika bankl digugat harus memenuhi kewajiban penanggungan maka bank akan memenuhi/membayar prestos kepada kreditur. Selanjutnya untuk jumlah uang yang terlah dibayarnya bank akan memperhitungkan kembali dalam debet dari rekening debitur yang sedang berjalan.
1) Tender Garansi (jaminan penawaran; tender bond)
Bank garansi/jaminan bank yang berwujud tender garansi adalah bentuk perjanjian penanggungan dimana bank menjamin pembayaran sejumlah uang tertentu untuk memenuhi syarat penawaran di dalam pelelengan pemborongan kerja. Besarnya jaminan penawaran itu berdasrkan Keputusan Presiden No. 14A tahun 1980 ditetapkan maksimum sebesar 3% dari harga yang diperkirakan yang dilelenagkan.
Jadi maksud adanya jamina tender adalah untuk menjamin agar pemborong terikat pada penawarannya dan kemudian jika menang dalam peleleangan terikat untuk melaksanakan pekerjaan yang trelah ditawarnya. Semuanya itu dengan sanksi pemborong yang telah dikabulkan permintaannya (menang dalam pelelangan) namun menolak/tidak melaksanakan pekerjaan uang jaminan penawarannhya akan menjadi miliknegara.
2) Jaminan pelaksanaan (performance bond)
Jaminan pelaskanaan adalah bentuk penanggungan yang diberikan oleh bank untuk menanggung pelaksanaan pekerjaan yang harus dilakukan oleh pemborong. Menurut ketentuan yang ada besarnya jaminan pelaksanaan pekerjaan ini ditentukan minimum sebesar 5% dari harga borongan. Uang jaminan penawaran akan dikembalikan kepada pemborong pada saat jaminan pelaksanaan diterima oleh pimpinan proyek. Dalam hal pemborong tidak memulai pelaksanaan pekerjaan pada waktu yang telah ditetapkan maka jaminan pelaksanaan menjadi milik Negara.
3. Jaminan Pembangunan (bouw garansi)
Dalam perjanjian pemborongan bangunan di luar negeri lazim terjadi bahwa pihak yang memborongkan banguna mensyaratkan adanya pemborong peserta yang sanggup bertindak sebagai penanggung untuk menyelesaikan pembanguna tersebut manakala si p[emborong utma tidak dapat memenuhi pretasinya,misalnya karena jatuh pailit atau karena meninggal dunia.
Dalam praktek terdapat banyak kelemahan dan keluhan-keluhan terhadap lembaga jaminan pembangunan ini. Justru karena bentuknya dituangkan dalam bentuk perjanjian penanggungan sertingkali dalam pelaksanaan menimbulkan akibat-akibat yang merugikan bagi penanggung yaitu dalam hal :
• Dalam perjanjian penanggungan pemabnguna demikian si penaggunga (pemborong peserta) melakukan kewajiban menyelesaikan pembangunan atas nama pemborng utama karenanya tak dapat secara langsung meminta kontra prestasi atas pekerjaan pemborongan yang telah dilaksanakan.
• Kemungkinan bahwa si penaggung selaku pemborong perserta tidak ditunjuk untuk menyelesaikan pekerjaan si penanggung tidak berhak untuk menuntut agar ia ditunjuk untuk menyelesaiakn pekerjaan.
• Bagim leveransir atau yang berkewajiban melever bahan-bahan bangunan adanya lembaga jaminan yang demikian juga dirasakan berat karena untuk dapat diterima sebagai leveransir untuk melayani kebutruhan materiil pembangunan sering dia diwajibkan untuk bertindak sebagai pemborong perserta atau menjadi penanggung dari pemborong.
Demi perlindungan pemborong peserta yang bertindak sebagai penanggung pembangunan agar dapat mengoper hak-hak dan kewajiban pemborong utama dalam menyelesaikan pemborongan bangunan serta dapat mengoper hak-hak pemborongan dalam pembayaran hendaknya diatur dalam peraturan khusus dari departemen PU/Keputusan Presiden selanjutnya kewenangan demikian dari pemborong peserta/penanggung harus tercantum dalam bestek yang diajukan oleh principal/bouwheer)
4. Jaminan Saldo (saldo Garansi)
Saldo garansi adalah bentuk perjanjian penangungan dimana bank menjamin saldo yang akan ditagih dari debitur oleh kereditur pada waktu pnutupan rekeningnya. Dengan demikian bank hanya menjamin pembayaran piutang tertentu dari kreditur dan hanya untuk transaksi tertentu,bukannya menjamin semua tagihan yang akan ditagih dari debitur sampai penutupan rekening. Dalam praktek perbankan di Indonesia bentuk penanggungan dengan saldo garansi tidak banyak terjadi.
Dala kepustakaan dikenal danya penanggungan untuk piutang-piutang yang masih aka nada dalam bentuk-bentu :
1) Kreditborgtocht penanggung menanggung pembayaran sejumlah kredit yang diberikan oleh kreditur kepada debitur,
2) Bankborgtocht penanggung menanggung untuk apa yang akan terutang oleh debitur kepada kreditur pada masa yang akan dating.
3) Saldoborgtocht penanggung menanggung untuk saldo yang akan dapat ditagih oleh kreditur pada saaat penutupan rekening.
5. Jaminan oleh Lembaga Pemerintah (staatgaransi)
Di luar negeri telah lazim terjadi bahwa pemberian kredit untuk tujuan-tujuan tertentu yang maksudnya member perlindungan bagi pengusaha kecil, atau memberi kemungkinan meningkatkan pembangunan bagi proyek-proyek tertentu, pemerintah bersedia menjadi penanggung bagi pemberian kredit untuk usaha-usaha tersebut. Pemerintah akan menanggung perlunya diberikan kredit demikian dan akan sanggup memenuhi pengembalian kredit manakala debitur wanprestasi.
Kemungkinan pemberian kredit dengan garansi dari pemerintah demikian patut mendapat perhatian dan dikembangkan di Indonesia dalam rangka menempuh kebijaksanaan pemberian kredit yang longgar. Terutama bagi kredit-kredit untuk proyek-proyek tertentu yang menyangkut rakyat banyak, proyek-proyek yang ingin dikembangkan karena menyangkut peningkatan taraf hidup rakyat dan memerlukan fasilitas serta dorongan dari pemerintah, patut mendapatkan garansi dari pemerintah. Jaminan itu dapat diberikan baik oleh pemerintah pusat maupun maupun oleh pemrintah daerah.

hibah dan wasiat

HIBAH DAN WASIAT

(KAJIAN KOMPILASI HUKUM ISLAM, FIQIH DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA)

Hibah dan wasiat adalah perbuatan hukum yang mempunyai arti dan peristiwa yang berbeda dan sekilas tampaknya begitu sepele apabila dilihat dari perbuatan hukum dan peristiwanya sendiri. Meskipun tampaknya sepele tetapi apabila pelaksanaannya tidak dilakukan dengan cara-cara yang benar dan untuk menguatkan atau sebagai bukti tentang peristiwa hukum yang sepele tadi, padahal khasanah materi hukum Islam dibidang hibah dan wasiat ini bukan hukum ciptaan manusia, tetapi hukumnya ditetapkan Allah SWT dan RasulNya(Al-Baqarah ayat 177 dan ayat 182).Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (UUPA) dan kompilaasi HukumIslam (KHI) kata wasiat disebut lebih dahulu dari kata hibah, tetapi didalam kitab-kitab fiqih dan KUH Perdata hukum hibah lebih dahulu dibahas, baru kemudian wasiat. Tidak prinsip memang antara yang lebih dahulu disebut atau dibahas antara hukum hibah dan hukum wakaf, namun sistematika pembahasan terhadapmateri tersebut dalam tnini hukum hibah dan hukum wakaf dimulai membahas hibah, perbuatan hukum yang berlakunya setelah kematian pemberi wasiat.Hibah dam wasiat berdasarkan hukumislam dalam konteks kompetensi absolut Badan-badan Peradilan di Indonesia adalah kewenangan Peradilan Agama (pasal 49 ayat(1) UUPA, sedang hibah dan wasiat didalam KHI merupakan pedoman bagi hakim Pengadilan Agama khususnya untuk menyelesaikan masalah-masalah berkenan bidang hukum yang terdapat didalamnya (Inpres nomor 1 Tahun 1990).

Hibah dan wasiat yang dirumuskan dalam pasal demi pasal KHI tidak lepas dari kitab-kitab fiqih dan justru memang bersumber dari al-Quran, hadist dan kitab-kitab fiqih. Mengaitkan materi KHI dengan kajian fiqih dalam tulisan ini, karena hibah dan wasiat yang dimuat dalam KHI bukanlah suatu ketentuan yang final dan telah mencakup permasalahan hibah dan wasiat. Disebutkan dalam impres, bahwa KHI merupakan pedoman yang mengisyaratkan patokan umum yang memerlukan perkembangan dan pengkajian lebih lanjut yang tidak lain pengembangannya merujuk pada kajian fiqih, karena dalam kitab fiqih dijelaskan latar belakang dan lahirnya pendapat Ulama Fiqih terhadap obyek yang dikaji dan segala kemungkinan yang akan timbul, sehingga dengan merujuk kepada kitab-kitab fiqih merupakan dasar untuk mengembangkan dan menafsirkan lebih lanjut hasil kajian yang sudah ada.

Disamping itu sudah menjadi kodrat, bahwa hukum yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan, termasuk dalam hal ini KHI tidak menampung permasalahan hukum yang timbul dalam kehidupan manusia, yang senantiasa berubah dengan membaur permasalahan yang baru, apalagi hibah dan wasiat yang belum diatur dalam KHI hanya terdiri beberapa pasal yang tidak menutup kemungkinan permasalahan hukum di bidang hibah dan wasiat belum diatur yang memerlukan penafsiran hukum dalam penerapannya. Hampir setiap hukum yang diatur dalam peraturan prundangundangan tidak mampu menampung permasalahan hukum yang berakselerasi dengan perkembangan masyarakat. Wajarlah kalau dikatakan hukum berjalan tertatih-tatih dibelakang perkembangan zaman, karena hukum tidak mampu mengantisipasi perkembangan yang terjadi dalam kehidupan manusia. Bagaimanapun lengkapnya suatu kitab hukum, tidak mampu mengantisipasi persoalan hukum yang timbul dalam kehidupan masyarakat. Adalah suatu kodrat, bahwa kehidupan dan perilaku pergaulan manusia secara kontinyu mengalami perubahan. Para ahli ilmu sosial mengajarkan, bahwa sesungguhnya tidak ada masyarakat yang statis, tidak bergerak, melainkan yabg ada adalah masyarakat manusia yang secara terus menerus mengalami perubahan. Hanya saja gerak perubahan dari masyarakat yang lain, ada yang cepat, tetapi ada pula yang lambat. Hal ini merupakan ciri dari kehidupan masyarakat. W. Fridmann yang diikuti oleh Teuku Muhammad Radhi, SH. mengatakan, tempo dari perubahan-perubahan sosial pada zaman ini telah berakselerasi pada titik dimana asumsi-asumsi pada hari ini mungkin tidak berlaku dalam beberapa tahun yang akan datang (Teuku Muhammad Radhi, SH, 1981 : 8). Ibnu Kholdun (1332-1440) mengatakan, bahwa keadaan umat manusia, adat kebiasaan dan peradabannya tidaklah pada suatu gerak dan khittoh yang tetap, melainkan berubah dan berbeda-beda sesuai dengan perubahan zaman dan tempat, maka keadaan ini terjadi pula pada dunia dan negara. Sungguh sunnatullah berlaku pada hamba-hambaNya (Subhi Mahmassani, 1981 , 160).

Adapun tulisan ini menyisipkan pembahasan hibah dan wasiat dalam KUH Perdata dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang ketentuan yang terdapat dalam hukum Islam dengan ketentuan yang diatur dalam KUH Perdata, sebab wasiat dan hibah yang diatur dalam KUH Perdata tidak lepas dari pengaruh hukum Islam. Meskipun atas pengaruh hukum Islam, tetapi berbeda nilai idiilnya dengan hukum islam, karena dalam KUH Perdata hibah dan wasiat digolongkan perjanjian cuma-cuma yang tidak mengandung unsur kasih sayang dan tolong menolong. sedangkan dalam hal islam perbuatan hukumnya dilihat dari kamul khomsah pada assanya sunnah (Al-Baqoroh ayat 177 dan 180). Hibah dalam KUH Perdata merupakan bagian dari hukum perjanjian dan digolongkan perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu diwaktu hidupnya (Subekti,1991,1).

Pada asasnya suatu perjanjian adalah bersifat timbal balik, seseorang menyanggupi memenuhi prestasi disebabkan dia akan menerima kontra prestasi dari pihak lain. Meskipun hibah termasuk hokum perjanjian cuma-cuma, karena hanya ada prestasi dari satu pihak saja (Penghibah), sedangkan penerima hibah tidak ada kewajiban untuk memberikan kontra prestasi kepada penghibah. Dikatakan diwaktu hidupnya untuk membedakan hibah dengan testamen atau hibah antara suami istri dalam islam diperbolehkan. Hibah dalam KUH perdata tidak boleh ditarik kembali, sedang dalam islam dapat ditarik kembali, khusus hibah orangtua kandung kepada anak kandungnya.Hibah dan Wasiat dalam KUH Perdata (BW)Materi hukum tentang hibah dan wasiat dalam KUH Perdata sendiri bukan diambil dari codex justinianus carpus juris civilis yang menurut para sejarah sebagai sumber hokum modern dan bukan pula hibah dan wasiat diambil dari kitab undang-undang hasil imajinasi napolion yang dimuat dalam codex napolion yang merupakan sal usul KUH perdata (BW), tetapi codex napolion justru ide dasarnya ditranformasikan dari kitab fiqih karya imam Asy-Syarkowi yang kemudian dalam aplikasinya terdapat perbedaan yang mendasar antara hibah dan wasiat dalam KUH Perdata dengan hibah dan wasiat dalam hukum Islam. Masih melekat dikalangan dunia hukum, bahwa hukum modern selalu dikaitkan dengan negara Eropa, karena memang sejarah hukum senantiasa dikaitkan dengan hukum Romawi, mengingat pengaruh hukum Romawi terhadap perkembangan hukum pada negaranegaradi Eropa sangat besar, khususnya dibidang hukum perdata yang dikembangkan melalui hukum universal atau hukum umum (jus comune, jus gentium). Jus comune atau jus gentium ini merupakan codex justinianusyang pada abad ke VI dikodifikasikan sebagai sebuah hukum tertulis oleh Negara-negara Eropa pada abad ke XV dan abad ke XVI. Codex justinianus khususnya hukum perdata menjadi sumber utama dari hukum perdata modern(Theo Huibers, 1990:34).Meskipun Codex Justinianus khususnya dibidang hukum perdata yang dikatakan menjadi sumber utama dari hukum perdata modern, namun BW (KUH Perdata) yang sekarang berlaku di Indonesia yang doberlakukan berdasarkan pasal II Aturan peralihan UUD 1945 adalah bersumber dan meniru kitab fiqih hasil karya Ulama Islam.Kitab fiqih mazhab sudah ada sejak tahun 800 M sedangkan BW Eropa baru pada awal abad XIX M, yakni berdasarkan code napolion yang disusun setelah napolion kembalidari bermukim di Mesir selama kurang lebih 15 bulan antara Bulan Mei 1798 sampai bulan Agustus 1799. Sejarah KUH Perdata (BW) Indonesia sendiri adalah mengikuti kodeifikasi BW di negeri Belanda (1838), sedangkan BW belanda mengikuti BW perancis yang terkenal code napolion (1807). Adapun kodifikasi Hukum Perancis yang merupakan cikal bakal hukum perdata modern Eropa sekarang sesungguhnya berpangkal pada 2 (dua) sumber yaitu Hukum Romawi dan Hukum Islam, hukum Romawi terkenal dengan kodifikasi Yustinianus (483-565) yang disebut Codex Justinianus atau justinianus corpus juris civilis. Sedangkan hukum fiqih Islam diambil oleh Napolion dan dimuat dalam Code napolion berasal dari kitab fiqih susunan Abudalah Asy-Syarkowi (1737-1812 M).Pada waku Napolion menduduki Kairo Mesir, jabatan Asy-Syarkowi adalah Syaikhul Azhar yang diminya napolion membantu hokum Perancis, yaitu Portalis, Tronchet, Bigot De Preameneu dan Mallevilie yang keempatnya adalah para Sarjana Hukum Prancis yang turut Napolion ke Mesir. Hasil karya tim hukum Prancis tersebut yang dibantu oleh Imam Asy-Syarkowi inilah BW Prancis disusun tersebar di nagar-negara Eropa yang dikatakan sumber hukum modern, termasuk yang diadopsi belanda dan diberlakukan pada negara jajahannya termasuk Indonesia yang sampai sekarang BW Belanda tersebut masih berlaku positif di Indonesia yang dikenal dengan KUH Perdata, padahal di Belanda sendiri KUH Perdata tersebut sudah dilakukan perubahan. Oleh karena itu tidak aneh kalau dalam KUH Perdata memuat atau membicarakan materi hukum hibah dan wasiat dalam pasal-pasalnya yang tidak lain adalah diambil dari kitab fiqih Imam Asy-Syarkowi, meskipun telah dilakukan perubahan yang justru telah bertentangan dengan ketentuan hibah dan wasiat dalam hokum Islam. pasal 874 sampai dengan pasal 1022 KUH Perdata tentang wasiat dan hibah adalah berdasarkan pada prinsipprinsip kitab fiqih. pasal 1666 sampai dengan pasal 1693 KUH Perdata adalah tentang hibah mendekati persamaan dengan yang dibahas dalam kitab fiqih, kecuali dalam syarat-syarat tertentu ada perbedaan yang mendasar. Kalau diteruskan lagi mengkaji isi KUH Perdata dengan kitab fiqih, maka tentang penitipan barang dalam pasal 1729 KUHPerdata merupakan terjemahan bebas dalam kitab fikih tentang wadiah (penitipan barang) berdasarkan Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat (58) (Hasbullah bakry, 1985:9).Hibah dan Wiasiat dalam Islam Ketentuan tentang hokum hibah dan wasiat adalah berdasarkan dalil dalam Al-Qur’an dan hadits, sehingga semua Ulama fiqih sepakat (Ijma) tentang ditetakannya wasiat dan hibah. Ketentuan wasian dalam Al-Qur’an disebutkan antara lain dalam Surat Al-Baqoro ayat 180, An-Nisa ayat 12 dan ayat 58, sedangkan dalam Hadits adalah hadits Bukhiri Muslim.

Ketentuan hibah disebutkan surat Al-Baqoroh ayat 177 dan surat Al-Maidah ayat 2, sedangkan hadits adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim. Hibah dan wasiat sendiri pada dasarnya untuk tujuan yang baik, karena pada asasnya adalah pemberian dari seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan pahala dari Allah SWT. Faktor yang paling dalam disyariatkan hibah dan wasiat ini adalah faktor kemanusiaan, keikhlasan dan ketulusan dari penghibah yang berwasiat. Kalapun akan di bedakannya hanya waktu pelaknasaannya, yaitu hibah dilaksanakan semasa penghibah masih hidup, sedang wasiat dilaksanakan setelah pewasiat wafat. Dikatakan hibah dan wasiat pada asanya adalah pemberian seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan pahala dari Allah SWT karena arti harfiah dari 2 (dua) kata ini mendekati arti yang sama. wasiat artinya menjadikan, menaruh belas kasihan, berpesan menyambung, memerintah, mewajibkan. Sedangkan hibah diartikan pemberian tanpa syarat tanpa mengharapkan pahala dari Allah SWT. Oleh karena itu oleh mazhab Maliki hibah sama dengan hadiah, hibah menurut mazhab Syafi’i adalah pemberian untuk menghormati atau memuliakan seseorang tanpa bermaksud mengharapkan pahala dari Allah SWT. Menurut mazhab Syafi’i hibah mengandung dua pengertian, yaitu pengertian umum dan khusus, pengertian umum mencakup hadiah dan sedekah dan pengertian khusus yang disebut hibah apabila pemberian tersebut tidak bermaksud menghormati atau memuliakan dan mengharapkan ridho Allah SWT. Jika pemberian(hadiah) tersebut bermaksud menghormati atau memuliakan yang diberi disebut hadiah, jika pemberian mengharapkan ridho Allah SWT atau menolong untuk menutupi kesusahannya disebut sedekah. Hibah dan wasiat dilihat dari Hikmatu Al-Tasyri (Filsafat Hukum Islam) adalah untuk memenuhi hasrat berbuat bagi umat islam yang beriman kepada Allah SWT (Al-Baqoroh ayat 177). Hibah dan wasiat adalah hak mutlak pemilik harta yang akan dihibahkan atau yang akan diwasiatkan karena hukum Islam mengakui hak bebas pilih (Free Choise) dan menjamin bagi setiap muslim dalam melakukan perbuatan hukum terhadap haknya (Khiyar Fil-kasab). Oleh karena itu apabila (misalnya) ayah atau ibu dari anak akan menghibahkan atau mewasiatkan hartanya, maka tidak seorangpun dapat menghalanginya, karena sedekat-dekatnya hubungan anak dengan ayanya masih lebih dekat ayahnya itu dengan dirinya sendiri, Syari’at Islam hanya menolong hak anak dengan menentukan jangan sampai hibah dan wasiat melebihi 1/3 (sepertiga) dari harta atau jangan sampai kurang 2/3 (dua pertiga) dari warisan ayah yang menjadi hak anak. Oleh karena itu pula wasiat selalu didahulukan dari pembagian waris, tingkat fasilitasnya sama dengan membayar zakat atau hutang (jika ada) berkenaan dengan perbuatan hukum dan peristiwa hukum elaksanaan hibah dan wasiat yang tampak sepele sehingga karena dianggap sepele cenderung dilakukan tanpa perlu dibuatkan akta sebagai alat bukti. Memang hukum hibah ansich tidak menimbulkan masalah hukum, karena hibah ansich adalah pemberian yang bersifat final yang tidak ada seorangpun yang ikut campur, namun apabila hibah dikaitkan dengan wasiat apabila wasiat behubungan dengan kewarisan, maka akan menimbulkan masalah hukum.Walaupun hibah dan wasiat berdasarkan hukum Islam merupakan salah satu tugas pokok atau wewenang Peradilan Agama(pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006), namun diantara perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama jarang sekali, bahkan hampir tidak ada yang diselesaikan melalui Pengadilan Agama dibandingkan dengan perkara perceraian dan yang assesoir dengan perkara perceraian, seperti pemeliharaan anak, nafkah anak, harta bersama dan lain-lain serta perkara kewarisan. hal ini mungkin karena hibah dan wasiat dianggap perbuatan baik, maka tidak diperlukan akta sebagai alat buktiatau nilai objek hibah dan wasiat tidak bernilai ekonomi tinggi, atau mungkin sudah dilakukan menurut ketentuan hukum yang berlaku, dan kemungkinan lain karena tidak memiliki bukti (walaupun terjadi sengketa), maka tidak diselesaikan melalui Pengadilan Agama. Dengan demikian sulit mendapatkan putusan yang bernilai yurisprudensi (stare decicis) tentang penemuan hukum oleh hakim dibidang wasiat dan hibah ini untuk dianalisis dan kajian ilmia serta diuji dari metode dan teori hukum Islam.

Hibah dan wasiat yang diatur dalam KHI dimuat dalam Bab V (wasiat pasal 194-209) dan Bab VI (hibah pasal 210-214). Ketentuan wasiat yang diatur didalamnya menyangkut mereka yang berhak untuk berwasiat, jenis-jenis wasiat, hal-hal lain yang boleh dan tidakboleh dalam wasiat. Sedangkan ketentuan hibah diatur secara singkat yang terdiri dari 4 pasal. Meskipun ketentuan wasiat dan hibah telah diatur dalam KHI yang notabene merupakan transformasi dari ketentua syari’ah dan fiqih, namun karena jarang terjadi sengketa yang sampai diselesaikan di Pengadilan Agama, maka dengan sendirinya belum ada permasalahan hukum yang timbul diluar yang ditentukan dalam KHI. lain halnya kalau dilihat dari pembahasan dalam kitab-kitab fiqih yang begitu detail dan antipatifnya pendapat Ulama Fiqih tentang kemungkinan-kemungkinan masalah yang timbul, sehingga lazim terjadi perbedaan pendapat diantara Ulama fiqih dalam mengkaji setiap permasalahan yang terjadi. Hibah yang diatur dalam pasal 210 KHI dan fiqih dibatasi sebanyak-banyaknya 1/3 harta benda dari harta benda yang merupakan hak penghibah, malah Ibu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim menganjurkan sebanyak-banyaknya 1/4 dari seluruh harta. yaitu pemberian benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. Pengertian hibah dalam kajian fiqih adalah pemberian sesuatu untuk menjadi milik orang lain dengan maksud untuk berbuat baik yang dilaksanakan semasa hidupnya tanpa imbalan dan tanpa illat (karena sesuatu). Definisi yang diatur dalam KHI dan yang terdapat dalam kitab fiqih pada dasarnya tidak ada perbedaan, namun dalam kajian fiqih dijelaskan pengertian shadaqah dan illat untuk mengharapkan pahala dari Allah SWT, sedangkan hadiah semata-mata untuk memuliakan orang yang diberi hadiah yang dampaknya akan melahirkan saling mengasihi(tahaaduu tahaabuu). dalam KHI disyaratkan penghibah sudah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat tanpa paksaan yang sama maknanya dengan kajian fiqih, bahwa anak kecil dan wali tidak sah menghibahkan, karena belum cukup umur (ahliyatul ada’al-kamilah) dan bagi wali karena benda yang dihibahkan bukan miliknya.Pelaksanaan hibahdisyaratkan ijab kabul, sedangkan dalam shadaqah dan hadiah tidak disyaratkan ijab kabul.

Dalam pasal 211 KHI disebutkan hibah orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Maksud dapat diperhitungkan berarti harta yang dihibahkan dapat dijadikan bagian waris yang bagian waris sendiri dapat lebih kecil karena karena sudah mendapatkan hibah. Dalam fiqih hak anak terhadap orang tuannya dapat diperoleh dari 2 jalan, yaitu hibah atau hibah wasiat dan waris. Pasal 212 KHI disebutkan hibah kepada anak dapat ditarik kembali. Ketentuan ini merupakan garis hukum islam berdasarkan hadits Rasulullah yang diwriwayatkan oleh Ibnu Umar dan Ibnu Abbas yang pada intinya dapat dicabut secara sepihak, tetapi ketentuan ini tidak mudah dilaksanakan apabila harta hibah sudah berganti tangan dalam bentuk benda lain. Oleh karena itu Ulama fiqih berpendapat apabila benda hibah masih dimiliki anak atau masih bergabung dengan milik orang tuanya dapat dicabut, tetapi apabila sudah bercampur dengan harta miliknya, istrinya atau dengan harta orang lain tidak dapat dicabut kembali. pasal 213 KHI hibah yang diberikan pada pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematiannya harus mendapat persetujuan ahli warisnya. Ketentuan ini menurut kajian fiqih orang yang sakit dapat menghibahkan 1/3 hartanya dengan dianalogkan dengan wasiat dengan dasar istishhabul-hal menganggap tetap berlakunya sesuatu yang sama karena ijma, menetapkan orang yang sakit boleh menghibahkan hartanya.Hukum Hibah dan wasiatWasiat yang diatur dalam 194 pasal 209 KHI yang disebutkan diatas memuat mereka yang berhak untuk berwasiat, bentuk wasiat, jenis-jenis wasiat, hal-hal lain yang boleh dan tidak boleh dalam wasiat. Perbedaan hibah dan wasiat dilaksanakan setelah kematian pemberi wasiat (pasal 194 ayat (3) KHI). Ketentuan ini disepakati oleh Imam 4 mazdhab (Maliki,Hanafi,Hambali, dan Al-Syafi’i). melaksanakan hibah hukumna sunnah dan hukum berwasiat menurut Imam emapt mazdhab pada asanya sunah berdasarkan kata yuridu (arab) dala hadits yang diriwayatkan Imam Maliki dari An-Nafi sebagai berikut :”Tidak ada hak bagi seorang Muslim yang mempunyai sesuatu yang (yuridis) ingin diwasiatkannya yang sampai bermalam dua malam, maka wasiat itu wajib tertulis baginya”. Para Imam empat mazdhab berpendapat bahwa berwasiat hendaknya sunah dengan alasan, karena tidak ada dalil yang menyatakan Rasulullah SAW dan para sahabatnya melaksanakanya. Namun demikian wasiat dapat beralih hukumnya wajib, mubah, dan makruh bahkan haram tergantung pada maksud dan tujuannya.1.Wajib apabila selama hidupnya belum melunasi kewajibannya terhadap Allah SWT, misalnya membayar kifarat, zakat atau haji maupun kewajiban terhadap manusia, misalnya hutang dan lainnya.2.Sunah adalah berwasiat kepada kerabat yang tidak mendapat warisan.3.Haram apabila berwasiat untuk hal-hal yang dilarang oleh agama.4.Makruh apabaila yang berwasiat mengenai hal-hal yang dibenci agama.5.Mubah apabila berwasiat untuk kaum kerabat atau orang lain yang berkecukupan Sehubungan wasiat wajib atau wasiat wajibah adala wasiat yang dianggap ada walaupun yang sesungguhnya tidak ada karena demi kemaslahatan. Wasiat wajibah ini bersifat Ijtihadiyyah, karena tidak ada nash yang shorih, sehingga yang berkenaan dengan rukun dan syarat sah dan batalnya wasiat wajibah merupakan lapangan kajian hukum. dasar hukum wasiat wjibah adala firman Allah SWT dalam surat Al-Baqoroh ayat 180, sehingga para ulama setelah masa tabi’in seperti Sa’idbin Musayyab, hasan bashri, Thawus, Imam Ahmad bin Hamabal, daud Az-Zhahiri,Ibu jarir Al-Tobari Ishaq bin Rahawaih, Ibnu hazm dan lain-lain berdasarkan hal ayat tersebut berpendapat wajib untuk berwasiat kepada kerabat yang tidak berhak mendapat waris karena terhijab oleh ahli waris yang lainnya. Tersebut bersifat muhkam, yang tetap berlaku bagi kerabat yang tidak mendapat bagian waris.

Apabila seorang meninggal tanpa meninggalkan wasiat wajibah, Ibnu Hazm Cs membatasi hanya pada cucu sebanyak bagian ayah atau ibunya apabila keduanya masih hidupdan tidak boleh lebih dari 1/3 harta (Ibrahim Husen, 1985:24). Sebagaimana yang diketahui dalam hukum waris bahwa menurut pendapat jumhur posisi cucu di hijab oleh anak pewaris sehingga cucu yang orang tuanya (ayah atau ibu) meninggal dunia dihijab oleh pamannya (saudara ayah atau ibu) sedangkan pendapat lain yang tidak mu’tamad, tetapi mencerminkan rasa keadilan berpendapat seseorang yang meninggalkan anak tidak putus hak kewarisan anak atas hak orang tuanya yang meninggal dunia lebih dahulu dari orang tuannya, tetapi tetap tersambung meneruskan juarinnya (keturunannya). Tetapi berbeda ketentuannya antara wasiat wajibat dengan ahli waris pengganti (plaatsvervangend erfgenaam). Wasiat wajibah maksimal mendapat 1/3 bagian berdasarkan hadits Sa’ad bin Abi Waqqosh, bahkan menurut Ash-Shon’ani pengarang kitab Subulussalam para ulama sepakat membatasi wasiat 1/3. Kalaupun akan mewasiatkan hartanya lebih dari 1/3 harus seizin ahli waris. Tanpa seizin ahli waris wasiat lebih dari 1/3 batal demi hukum. Sedangkan porsi atau hak yang diperolehpada ahli waris pengganti tergantu pada posisi ahli waris yang diganti, mungkin pada posisi mendapat bagian lebih banyak atau pada posisi mendapat bagian lebih sedikit. Tetapi apabila memperhatikan ketentuan ahli waris pengganti dengan wasiat wajibah diukur dari rasa keadilan, maka menggunakan dasar ahli waris pengganti lebih adil dari pada berdasarkan berdasarkan wasiat wajibah. Tidak adil dirasakan dalam ketentuan fiqih, bahwa paman menghijab anak saudaranya yang mininggal lebih dahulu, padahal andaikan dia masih hidup tentu posisinya sama dengan saudaranya itu (paman dari anak-anaknya). Dengan dasar rasa keadilan sebagai jalan mewujudkan keadilan inilah ketentuan ahli waris pengganti yang bersifat ijtihadiyah menjadi ketentuan kewarisan yang diatur dalam pasal 185 KHI. Pelaksanaan Putusan Peradilan Agama Pemberian harta melalui hibah dan wasiat, baik kepada ahli waris maupun kerabat dan orang lain dapat melindungi hak yang bersangkutan dari ahli waris yang lain. Misalnya seorang suami yang telah bercerai dengan istrinya dan mempunyai anak keturunan. Kemudian suami kawin lagi dengan perempuan lain (istri yang kedua) dan mempunyai anak. Dalam kasus ini apabila suaminya meninggal tentu ada hak waris anak dari istri yang telah bercerai dengannya,sedangkan anaknya tersebut sebelumnya telah diberi harta ketika bercerai dari ibunya. Agar anak dari istri yang keduanya terlindungi dari pembagian waris yang akan mengurangi jumlah bagiannya (karena anak dari istri yang diceraikan masih berhak atas harta peninggalan ayahnya), maka melaui hibah ini suami dapat menghibahkan hartanya kepada anak dari istri yang keduanya tersebut, sehingga dengan demikian anak tersebut mendapat perlehan memadai. Selain dari itu sering terjadi dalam perkara perceraian, suami istri menghibahkan harta bersama misalna tanah berikut bangunan rumah diatasnya kepada salah satu pihak dari suami atau istri atau kepada anak-anaknya. Putusan Pengadilan Agama tentang hibah tersebut tentu perlu ditindaklanjuti oleh para pejabat yang diberi wewenang atau instansiterkait dengan persoalan benda tidak bergerak. Tetapi putusan ini sayangnya tidak serta merta dapat dilaksanakan, mengapa? Karena apabila akan dilakukan balik nama terhadap benda yang dihibahkan berdasarkan putusan Pengadilan Agama tersebut masih harus mensyaratkan menyertakan pihak penerima hibah dan pemberi hibah serta syarat-syarat administratif lainnya, misalnya KTP atau surat kuasa, karena pejabat atau instansi yang berangkutan terikat pada Peraturan Perundang-undangan tentang pertanahan atau hukum perjanjian. Kalau dikaji lebih lanjut penyelesaian perkara di Peradilan Agama dengan menggunakan hukum acara yang berlaku berdasarkan Pasal 54 UUPA sesungguhnya banyak tidak relevan dengan kaakteristik perkara yang menjadi wewenang Peradilan Agama.

Salah satu contoh yang tidak relevan adalah ketentuan eksekusi yang diatur dalam HIR atau Rbg, karena ketentuan eksekusi yang diatur dalam HIR atau Rgb adalah menyangkut perkara sengketa milik, hutang piutang dan ganti rugi adalah dengan lelang, sdangkan perkara yang diselesaikan oleh Peradilan Agama sama sekali tidak menyentuh perkara sengketa milik, hutang piutang dan ganti rugi. Pelaksanaan putusan Pengadilan Agama dengan memperhatikan ciri-ciri eksekusi lelang, sesungguhnya tidak perlu dengan lelang dan memang tidak melalui lelang, tetapi putusan Pengadilan Agama ditindaklanjuti oleh instansi yang terkait dengan pokok perkara yang diputuskan oleh Pengadilan Agama. Masalahnya belum ada peraturan perundang-undangan atau setidak-tidaknya perlu SKB antara Mahkamah Agung RI sebagai penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dan merupakan Pengadilan Negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan (UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman) dengan lembaga atau instansi pemerintah untuk menindaklanjuti putusan-putusan Pengadilan Agama. Putusan pengadilan deklarator, konstitutif maupun kondemnator pada asasnya melahirkan hukum baru terhadap peristiwa hukuhm yang diputuskan. Oleh karena itu mestinya dengan putusan Pengadilan Agama dalam perkara yang terkait dengan hibah atau harta kekayaan lainnya, instansi yang bersangkutan atau pejabat yang menangani harta kekayaan, misalnya Notaris, PPAT atau BPN terikat isi putusan pengadilan in casu Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan mengikat kepada para pihak dan pihak lain. Apabila putusan Pengadilan Agama dalam perkara hibah ini tidak mempunyai kekuatan mengikat kepada para pihak dan pihak lain, maka dapat saja yang bersangkutan mempersulit atau mengingkari putusan tersebut, bahkan mengesampingkan putusan. Allahu A’lamu-showab.